Alumni STIKes Madani Yogyakarta angkatan 2010
Konsep Berduka Menurut Betty Newman
PENDAHULUAN
Konsep kehilangan dan berduka (duka cita) telah secara luas dipublikasikan di berbagai textbook maupun jurnal sejak 50 tahun yang lalu. Dari pemikiran klasik Bowlby (1980) tentang perasaan cinta dan kehilangan (attachment and loss) sampai dengan penjelasan mengenai kepedihan (poignant) dari C.S. Lewis (1994). Perawat jarang sekali mendalami perasaan duka cita yang sedang dialami oleh kliennya, meskipun duka cita adalah sebuah pengalaman universal dalam diri manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian mengenai struktur pengalaman duka cita yang dialami oleh klien dan pengkajian tentang kompleksitas perilaku seseorang yang terkait dengan pengalaman duka cita agar kita dapat memahami proses duka cita tersebut dan menyusunnya dalam terminologi yang terukur.
Tulisan ini berupaya untuk menyajikan konsep duka cita berdasarkan pendekatan dengan model Neuman (Neuman,1982). Penggunaan model asuhan keperawatan yang berorientasi pada proses secara holistik akan dapat membantu kita untuk memahami secara jelas mengenai proses, perilaku, dan tanggapan manusia terhadap duka cita yang sedang dialaminya.
BATASAN
Duka cita bermakna kesedihan yang mendalam disebabkan karena kehilangan seseorang yang dicintainya (misal kematian). Menurut Cowles dan Rodgers (2000), duka cita dapat digambarkan sebagai berikut :
- Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu proses yang ditandai dengan beberapa tahapan atau bagian dari aktivitas untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu : (1) menolak (denial); (2) marah (anger); (3) tawar-menawar (bargaining); (4) depresi (depression); dan (5) menerima (acceptance) (TLC, 2004) . Pekerjaan duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya. Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu.
- Pengalaman duka cita bersifat individu dan dipengaruhi oleh banyak faktor, kemudian dapat mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Duka cita lebih dari sekedar tetesan air mata, dimana ia memanifestasikan dirinya sendiri dalam kesadaran, fisik, tingkah laku, jiwa, psikologis, dan kehidupan sosial seseorang, seperti halnya perilaku emosional.
- Duka cita bersifat normatif namun tidak ada kesepakatan universal yang bisa menjelaskan sejauhmana kondisi normalnya. Perawat seringkali merasakan adanya sesuatu yang membatasi duka cita klien sehingga tidak sesuai dengan apa yang perawat pikirkan; penghalang tersebut berasal dari latar belakang sosial budaya klien yang mendorong terciptanya berbagai macam respon duka cita (Cowles& Rodgers, 2000, pp. 109-110).Dengan memanfaatkan literatur dari berbagai disiplin ilmu sebagai basis analisis, Cowles and Rodgers (1991) mendefinisikan duka cita sebagai “suatu proses dinamis, menyebar, dan sangat individual dengan komponen yang bersifat normatif” (p. 121). Atribut duka cita yang dikembangkan mencakup hal-hal sebagai berikut : dinamis, proses, individual, menyebar, dan normatif (Cowles & Rodgers, 2000). Namun atribut-atribut tersebut belum menghasilkan suatu variabel yang dapat diukur. Menurut Reed (2003), perlu dilakukan eksplorasi lebih lanjut tentang berbagai aspek duka cita yang lebih spesifik dan operasional.
PARADIGMA KEPERAWATAN DALAM MODEL SISTEM NEUMAN
Model sistem Neuman (Neuman & Fawcett, 2002) mempunyai empat komponen utama yang dapat digambarkan sebagai interaksi antar ranah (domain), yaitu : orang, lingkungan, kesehatan, dan ilmu keperawatan. Komponen dan terminologi yang terkait dengan ranah-ranah tersebut adalah :
- Sistem klien : struktur dasar, garis penolakan, garis pertahanan normal, dan garis pertahanan fleksibel.
- Lingkungan : internal, eksternal, diciptakan, dan stressor.
- Kesehatan : rentang sehat-sakit (wellness-illness continuum)
- Keperawatan : upaya pencegahan (preventif), konstitusi ulang (reconstitution), promosi kesehatan .
Neuman (1995) menguraikan model keperawatan sebagai suatu konsep berdasarkan sistem yang komprehensif. Hal ini menempatkan klien dalam suatu perspektif sistem yang holistik dan multi-dimensi. Model digambarkan sebagai gabungan dari lima variabel yang saling berinteraksi, idealnya berfungsi secara harmonis dan stabil dalam kaitannya dengan stressor lingkungan internal maupun eksternal yang sedang dirasakan pada saat tertentu oleh klien sebagai sebuah sistem.
1. Manusia (Klien)
Sistem klien terdiri dari satu rangkaian lingkaran konsentris yang mengelilingi dan melindungi struktur dasar (basic structure). Tingkatan dari masing-masing lingkaran memiliki tugas pertahanan spesifik dan terdiri dari lima variabel, yaitu : (1) fisiologis, (2) psikologis, (3) perkembangan, (4) sosial budaya, dan (5) rohani. Lingkaran terjauh atau garis pertahanan fleksibel (flexible line of defense) merupakan pertahanan awal untuk melawan stressor dan penyangga kondisi kesehatan yang normal. Garis pertahanan normal (normal line of defense) adalah basis yang dimanfaatkan oleh sistem klien untuk menghindari dampak dari stressor, dimana tergantung dari kondisi kesehatan seseorang. Garis-garis perlawanan (lines of resistance) melindungi struktur dasar bilamana suatu stressor dapat melampaui garis pertahanan fleksibel dan garis pertahanan normal (Neuman, 1995).
Variabel-variabel yang membangun sistem klien, menurut Neuman (1995) antara lain : variabel fisiologis, psikologis, sosial budaya, rohani, dan perkembangan. Variabel-variabel tersebut dibentuk berdasarkan pengalaman masa lalu dan material yang sudah ada dalam struktur dasar, mereka saling berinteraksi satu sama lain dan unik dalam setiap sistem klien. Susunan variabel kemudian akan diteruskan melalui keluarga dan masyarakat, dengan jalan tersebut sistem klien memelihara karakteristiknya dari satu generasi ke generasi lainnya (Reed, 2003).
2. Lingkungan (Stressor)
Menurut Neuman (1995), stressor dalam konteks lingkungan klien dapat disebabkan oleh berbagai faktor eksternal atau internal, dan dapat berdampak negatif maupun positif bagi seseorang. Stressor dapat dirasakan oleh klien secara berulang, sehingga klien akan merespon dan akan memodifikasi atau mengubahnya. Terdapat tiga hal yang dapat membedakan dampak stressor terhadap sistem klien, yaitu : kekuatan stressor, jumlah stressor, dan elastisitas garis pertahanan fleksibel. Stressor lingkungan dapat diklasifikasikan sebagai : (1) intra-personal, (2) inter-personal, dan (3) ekstra-personal. Keberadaannya dalam diri klien sama halnya dengan stressor yang ada di luar sistem klien.
3. Keperawatan (Rekonstitusi)
Rekonstitusi menggambarkan suatu upaya pengembalian dan perbaikan stabilitas sistem yang selalu menyertai tindakan perawatan reaksi stress klien, dimana dapat menghasilkan tingkat kesehatan yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada sebelumnya (Neuman, 1995). Sebelumnya Neuman (1989) mendefinisikan rekonstitusi sebagai suatu kondisi adaptasi terhadap stressor lingkungan internal maupun eksternal, dimana dapat dimulai dari derajat atau tingkat reaksi apapun. Rekonstitusi ditandai dengan beberapa tahapan aktivitas untuk menuju tujuan yang diinginkan.
MENGINTEGRASIKAN MODEL SISTEM NEUMAN DENGAN KONSEP DUKA CITA
Model Sistem Neuman (1982) dapat digunakan untuk menjelaskan kerangka konsep duka cita. Variabel yang tidak bisa dipisahkan dalam sistem klien, yaitu : fisiologis, psikologis, rohani, perkembangan, dan sosial budaya, dapat digunakan untuk menguraikan atribut dari duka cita. Kehilangan di masa lalu dapat dijelaskan sebagai sebuah stressor, dan akibat dari duka cita diartikan sebagai suatu proses yang serupa dengan konsep Neuman yaitu rekonstitusi. Intervensi untuk membantu klien dalam menghadapi pengalaman duka cita dapat dikategorikan sebagai upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Reed, 2003).
Penggunaan terminologi dari teori Neuman untuk menguraikan konsep duka cita dimulai dengan terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul sebelumnya. Dalam terminologi Neuman, kejadian di masa lalu merupakan stressor, dan dalam kasus duka cita, stressor adalah perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan mungkin bersifat intra-personal (misalnya : kehilangan salah satu anggota badan, kehilangan peran atau fungsi), interpersonal (misalnya : berpisah dengan pasangannya, anak, atau orangtua), atau ekstra-personal (misalnya: hilangnya pekerjaan, rumah, atau hilangnya lingkungan yang dikenal). Neuman (1995) menyatakan bahwa dampak dari stressor dapat didasarkan pada dua hal, yaitu : kekuatan stressor dan banyaknya stressor.
Modifikasi terhadap respon duka cita diidentifikasi sebagai kombinasi dari beberapa pengalaman yang bersifat individual dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri dari hubungan antara orang yang berduka dengan obyek yang hilang, sifat alami dari kehilangan, dan kehadiran sistem pendukung (support system). Faktor-faktor lain memiliki efek yang kuat pada perasaan duka cita, seperti pengalaman individu yang sama sebelumnya, kepercayaan spiritual dan budaya yang dianut. Penjelasan mengenai modifikasi respon duka cita sama halnya dengan gagasan Neuman mengenai interaksi antar variabel (fisik, psikologis, sosial budaya, perkembangan, dan rohani). Kombinasi beberapa variabel yang unik pada diri seseorang (pengalaman sebelumnya dengan duka cita, nilai-nilai, kepercayaan spiritual, status fisiologis, batasan sosial budaya, dan yang lainnya) dapat dibandingkan dengan variabel-variabel yang menyusun garis pertahanan normal (normal lines of defense) dan garis perlawanan. Masing-masing garis pertahanan dan garis perlawanan memodifikasi pada tingkatan tertentu dimana stressor mempunyai efek yang negatif pada diri seseorang. Garis pertahanan normal membantu sistem klien untuk menyesuaikan dengan stres akibat kehilangan; garis perlawanan bertindak sebagai kekuatan untuk membantu klien kembali ke kondisi yang stabil. Faktor yang lain, seperti pengalaman individu sebelumnya dengan perasaan kehilangan dan duka cita, budaya, dan kepercayaan religius menjadi bagian dari struktur dasar individu. Garis pertahanan dan perlawanan melindungi struktur dasar dari gangguan stres yang menimpa individu (Reed, 1993).
Cowles dan Rodgers (1993) sebelumnya telah mendefinisikan kondisi respon seseorang yang normal terhadap perasaan duka cita. Namun, penjelasan mengenai batasan normal dan batas waktu proses duka cita tersebut sebagian besar didasarkan pada pandangan dan pengetahuan perawat bukan berasal dari klien yang sedang mengalaminya sendiri. Reed (2003) mencoba untuk mendeskripsikannya tidak hanya sebatas pada respon normal saja, namun sampai pada cakupan respon itu sendiri. Serupa dengan Neuman (1995) yang telah menggunakan teori rentang sehat-sakit (wellness-illness continuum) untuk mendefinisikan batasan sehat. Dimana, rentang sehat-sakit menempatkan kondisi kesehatan seseorang yang optimal pada titik tertentu dan kondisi sakit pada titik yang lain. Kesehatan klien disamakan dengan kemampuan klien untuk memelihara stabilitas yang optimal dan hal itu dilihat sebagai batasan normal. Respon terhadap perasaan duka cita, selanjutnya dapat ditentukan dari efek kehilangan pada tingkat energi tertentu yang dibutuhkan untuk memelihara stabilitas klien. Berbagai macam tingkatan reaksi duka cita dapat diamati, tergantung pada kemampuan untuk mengelola perasaan kehilangan dan efeknya dalam kehidupan klien (Reed, 2003).
Akibat dari perasaan duka cita bagi seseorang adalah penyusunan karakter baru dan penetapan kenyataan baru. Proses kerja duka cita, melibatkan interaksi antara klien dan lingkungan sekitarnya. Menurut Dyer (2001), proses kerja duka cita dapat disimpulkan sesuai dengan akronim TEAR, yaitu :
T = To accept the reality of the loss
E = Experience the pain of the loss
A = Adjust to the new environment without the lost object
R = Reinvest in the new reality
Hal ini sesuai dengan gagasan Neuman mengenai rekonstitusi dimana tujuannya adalah untuk mengembalikan sistem klien pada kondisi yang stabil. Rekonstitusi dapat dijelaskan sebagai proses kerja duka cita, penyusunan karakter baru, dan penetapan kenyataan baru. Sistem klien berupaya untuk mengembalikan keadaannya pada kondisi yang stabil, atau mengoptimalkan dirinya untuk mencapai daerah di luar garis pertahanan normal. Dengan kata lain, seseorang akan mencoba untuk mengatasi perasaan dukanya agar lebih baik atau normal (sehat).
KASUS PENERAPAN KONSEP DUKA CITA
Berikut kita berikan contoh pengkajian duka cita pada ibu yang mengalami abortus dengan menggunakan pendekatan Model Sistem Neuman.
Contoh kasus :
Sebuah keluarga yang bahagia sedang menantikan kehadiran anak pertama mereka. Sang ibu telah mengandung dua bulan. Namun, suatu saat ibu mengalami perdarahan dan menurut dokter kehamilan tersebut tidak bisa dipertahankan. Oleh karena itu dilakukan aborsi untuk menyelamatkan jiwa ibunya.
Pada kasus di atas, perasaan duka cita dari kedua pasangan tersebut memiliki karakteristik yang kompleks. Misalnya, sang ibu berduka karena calon bayinya tidak bisa dipertahankan (kehilangan inter-personal), atau hilangnya harapan terhadap kehamilan yang telah ditunggu-tunggu (kehilangan intra-personal), atau barangkali merasa bersalah kepada anggota keluarga lainnya karena tidak sesuai harapan mereka (kehilangan extra-personal). Ketika kita akan menentukan tingkat pengaruh kehilangan pada diri seseorang, kita juga harus mengkaji dampak dari perasaan kehilangan tersebut pada kehidupan mereka sehari-hari; cara mereka mengatasi kesedihannya; atau nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut mengenai kehilangan. Secara umum kita akan mengkaji fungsi dari masing-masing garis pertahanan fleksibel, garis pertahanan normal, garis perlawanan, dan struktur dasar. Pengkajian harus meliputi banyak aspek, meliputi : aspek fisiologis, spiritual, psikologis, perkembangan, dan sosial budaya. Sebagai contoh, pertanyaan yang perlu disampaikan adalah : (a) Apakah makna kehilangan bagi orang tua? (aspek spiritual); (b) Bagaimana rencana keluarga selanjutnya? (aspek perkembangan); (c) Bagaimana perasaan duka cita ditunjukkan oleh anggota keluarga? (aspek sosial budaya); (d) Apakah keluarga melakukan perenungan? Apakah mereka mengalami kelemahan memori dan kesadaran?, Apakah mereka kehilangan harga diri? (aspek kejiwaan); dan (e) Gejala fisik apakah yang mereka rasakan? (aspek fisiologis).
Untuk membantu kedua pasangan tersebut mencapai rekonstitusi, dukungan inter-personal maupun ekstra-personal merupakan dua hal penting yang perlu dikaji. Siapakah anggota keluarga yang dapat memberikan dukungan positif? Apakah sistem pendukung secara kultural dapat diterima oleh kedua pasangan? (Mann et al, 1999). Setiap orangtua akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung pada struktur dasar yang dimilikinya. Sebuah penelitian telah membuktikan adanya perbedaan respon berdasarkan jender terhadap perasaan kehilangan pada masa perinatal (Adler & Boxley, 1985; Gilbert, 1989), maka respon terhadap pengalaman duka cita bagi masing-masing orang tidak akan sama, termasuk rentang waktu pemulihannya pun berbeda. Perbedaan dalam proses duka cita tentu akan memberikan stres tambahan di antara para orang tua. Selanjutnya, faktor-faktor ekstra-personal berpotensi memberika dampak bagi mereka.
Setelah dilakukan pengkajian secara menyeluruh, selanjutnya tahapan perencanaan, intervensi, dan evaluasi akan menggunakan proses yang sama. Perangkat penilaian akan mengukur hal-hal yang akan berdampak secara khusus pada aspek-aspek fisiologis, psikologis, rohani, sosial budaya, dan perkembangan. Misalnya, aspek sosial budaya akan mempengaruhi jenis intervensi yang bisa diterima oleh keluarga. Kehilangan pada masa perinatal merupakan suatu pengalaman yang sangat pribadi bagi banyak orang. Pemahaman mengenai arti dan pengalaman pribadi akan sangat membantu petugas kesehatan untuk menentukan intervensi yang spesifik dan terbaik. Intervensi terhadap gangguan fisiologis yang dapat menghalangi proses rekonstitusi bisa juga diberikan tergantung kondisi klien, misalnya perubahan pola tidur, nutrisi, dan sebagainya. Selanjutnya, perawat perlu mempertimbangkan aspek perkembangan seseorang dari perasaan berduka. Intervensi yang sesuai untuk ibu muda primigravida tentunya akan sangat berbeda dengan ibu yang telah memiliki anak sebelumnya (Mann et al., 1999).
PENUTUP
Penggunaan model konsep keperawatan untuk menganalisis suatu konsep tertentu dapat memberikan pedoman bagi kita dalam pengembangan perangkat penilaian dan pengukuran yang lebih spesifik, andal (reliable) dan akurat. Sebab fokus utama keperawatan adalah klien, lingkungan, dan kesehatan. Model keperawatan memberikan kerangka pikir holistik dan tak terpisahkan untuk menilai konsep-konsep yang menarik perhatian bagi profesi perawat. Sudut pandang yang holistik seperti itu penting sekali digunakan bila perawat berhadapan dengan variabel yang bersifat multidimensional, misalnya duka cita, nyeri, takut, marah, atau hal-hal lain yang penting dalam asuhan keperawatan.
Dalam praktek pelayanan keperawatan, penggunaan model keperawatan akan membantu perawat dalam mendefinisikan area penilaian dan memberikan pedoman untuk menentukan standar outcome yang sesuai. Ketika perawat melakukan sebuah riset keperawatan, maka model konseptual akan membantu dalam menyusun struktur yang logis dan konsisten dengan asumsi-asumsi yang sdh ada, terutama dalam menyusun berbagai instrumen, metode, dan indikator hasil pengukuran. Sebab banyak dari konsep-konsep keperawatan yang justru menggunakan atau dijelaskan dengan pendekatan disiplin ilmu lain. Seharusnya, kita dapat mendeskripsikan suatu terminologi dengan perspektif ilmu keperawatan. Reformulasi informasi hasil penelitian ke dalam model keperawatan dapat memperkuat tubuh ilmu pengetahuan (body of knowledge) keperawatan sehingga akan lebih mudah mempelajari dan memahami manusia beserta implikasinya.
By: Arifuddin, S.Kep | Gomezz Mezz
Alumni STIKes Madani Yogyakarta angkatan 2010
By: Arifuddin, S.Kep | Gomezz Mezz
Alumni STIKes Madani Yogyakarta angkatan 2010