Agama dan Kesehatan
Mental
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokaatuh....
Kesehatan mental (mental hygiene) adalah
ilmu meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta
produr-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani (M.Bukhori:13.) Orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohaninya atau hatinya selalu merasa
tenang, aman dan tentram. (M.Bukhori :5). Menurut H.C. Witherington,
permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang
terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, sosiologi dan agama.
(M.Bukhori :5).
Di dalam ilmu kedokteran
dikenal istilah psikosomatik (kejiwabadanan). Dimaksud dengan istilah tersebut
adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan
badan. Jika jiwa dalam keadaan yang tak normal seperti susah, cemas, gelisah,
maka badan turut menderita. Beberapa temuan di bidang kedokteran dijumpai
sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan tersebut, jiwa dan badan. Orang
yang merasa takut langsung kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau
dalam keadaan kesal dan jengkel, perut terasa menjadi kembung. Itu semua
merupakan cerminan adanya hubungan antara jiwa dan badan sebagai hubungan
timbal balik, jika jiwa sehat badan segar dan badan sehat jiwa normal.
Di dalam kedokteran
dikenal beberapa macam pengobatan antara lain dengan menggunakan bahan-bahan
kimia, sorot sinar, pijat dan lain sebagainya. Selain itu juga dikenal
pengobatan tradisional seperti tusuk jarum (accupuntur), mandi uap,hingga cara
pengobatan perdukunan. (K.H.S.S.Djam’an:11). Dalam hubunganya antara agama dan
kesehatan mental. Menurut Prof.Dr.Muhammad Mahmud Abd al-Kadir bahwa di dalam
tubuh manusia terdapat sembilan jenis kelenjar hormon yang memproduksi
persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu. Disalurkan
melalui pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengartuh kepada eksistensi dan
berbagai kegiatan tubuh. Persenyawaan tersebut disebut hormon.
Lebih jauh Muhammad
Mahmud Abd al-Kadir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi seperti
bahagia, emosi, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut, cemas
yang ada dalam diri manusia akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan
kimia hormon, di samping persenyawaan lainnya. Tetapi dalam kenyataannya
kehidupan akal dan emosi manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Karena
itu selalu terjadi perubahan-perubahan kecil produksi hormon-hormon yang
merupakan unsur dasar dari kesadaran dan rasa hati manusia, tepatnya
perasaannya,.kata Abd al-Qadir.
Tetapi jika terjadi
perubahan yang terlampau lama, seperti panik, takut, sedih yang berlangsung
lama, akan timbul perubahan-perubahan kimia lain yang akan mengakibatkan
penyakit saraf kejiwaan. Hubungan penderita dengan dunia luar terputus, akal
ditutupi oleh waham dan hayal yang membawanya jauh dari kenyataan hidup normal.
Penderita selalu hidup dalam keadaan cemas dan murung, kebahagian hilang, penuh
keraguan, takut, rasa berdosa, dengki dan rasa bersalah. Timbulnya penyakit
emosi seperti itu akibat dari kegoncangan dan hilangnya keseimbangan kimia
tubuh seseorang. Padahal tanpa diragukan, bila terjadi perubahan dalam proses
pemikiran, akan terjadi perubahan kimia dan biologi tubuh. Besar kecilnya
perubahan itu tergantung dari kemampuan manusia menanggapi pengaruh itu. Kalau
terjadi keseimbangan maka akan kembali menjadi normal, adapun pergeseran dari
kondisi normal ke daerah yang berbahaya itu sangat tergantung dari derajat
keimanan seseorang yang tersimpan dalam diri manusia disamping faktor susunan
tubuh serta dalam atau dangkalnya rasa dan kesadaran manusia itu. (Muhammad
Mahmud Abd. al-Qadir, 1979).
Penemuan Muhammad Mahmud
Abd. Al-Qadir seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya memberi
bukti akan adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan jiwa.
Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktekkan
orang. Dengan adnya gerakan Chritian Science kenyataan seperti itu diperkuat
oleh pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien
melalui kerjasama antara dokter, psikiater dan ahli ilmu agama. Di sini tampak
nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Ibnu al-Qayyim al-Jauzi (691-751) pernah
mengemukakan itu sejak abad ke 7 hijrah. Menurutnya dokter yang tidak dapat
memberikan pengobatan pasien tanpa memeriksa kejiwaannya dan tidak dapat
memberikan pengobatan dengan berdasarkan perbuatan amal saleh, menghubungkan
diri dengan Allah dan mengingat harti akhirat maka dokter tersebut bukanlah
dokter dalam arti sebenarnya dan ia hanyalah dokter yang picik.
Barangkali hubungan
antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai
keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang
terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi (Allah). Sikap pasrah yang serupa itu
di duga akan memberikan sikap optimis pada diri seseorang sehingga menuncul
perasaan positif seperti bahagia, rasa senang, puas, sukses merasa dicintai
atau rasa aman. Sikap emosi yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan asasi
manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Maka dalam kondisi yang serupa itu
manusia berada dalam keadaan tenang dan normal yang oleh Muhammad Mahmud Abd
al-Qadir berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon tubuh. (Jalaluddin,2001).
Berapa banyak orang yang
berubah jalan hidup dan keyakinannya dalam waktu yang sangat pendek, dari
seorang pejahat besar, tiba-tiba menjadi orang yang baik, rajin dan tekun
beribadah seolah-olah ia dalam waktu yang sangat singkat dapat berubah menjadi
orang lain sama sekali. Dan sebaliknya pun juga terjadi orang yang berubah dari
patuh dan tunduk kepada agama menjadi orang yang suka lalai dan menentang
agama. Hubungan antara moral dan agama sebenarnya sangat erat, biasanya
orang-orang yang mengerti agama dan rajin melaksanakan ajaran agama dalam
hidupnya , moralnya dapat diperttanggung jawabkan. Sebaliknya orang-orang yang
akhlaknya merosot, biasanya keyakinannya terhadap agama kurang atau tidak sama
sekali. (Etty Kartikawati, dkk., 1997 :13).
Agaknya cukup logis
kalau setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya
secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan ikut
berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada
puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan setia.Tindak
ibadah setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna.
Dan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan jasmani dan rohani secara
tak terpisahkan memerlukan perlakuan yang dapat memuaskan keduanya. Salah satu
cabang ilmu jiwa, yang tergolong dalam psikologi Humanistika dikenal logoterapi
yang berarti makna dan rohani. Logoterapi dilandasi falsafah hidup dan wawasan
mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi sosial pada kehidupan manusia.
Kemudian logoterapi menitikberatkan pada pemahaman bahwa dambaan utama manusia
yang asasi atau motif dasar manusia adalah hasrat untuk hidup bermakna. Di
antara hasrat itu terungkap dalam keinginan manusia untuk memiliki kebebasan
dalam menemukan makna hidup. Kebebasan seperti itu dilakukannya antara lain
melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati
(termasuk agama dan cinta) atau dalam sikap atas keadaan dan penderitaan yang
tak mungkin terelakkan. (Jalaluddin,2001).
Selanjutnya logoterapi
menunjukkan tiga bidang kegiatan yang secara potensial memberi peluang kepada
seseorang untuk menemukan makna hidup bagi dirinya sendiri. Kegiatan tersebut
adalah :
- Kegiatan berkarya, bekerja dan mencipta, serta melaksanakan dengan baik tugas dan kewajibannya masing-masing.
- Keyakinan dan penghayatan atas nilai-nilai tertentu seperti kebenaran, keindahan, kebajikan, keimanan.
3. Sikap tepat yang diambil
dalam keadaan dan penderitaan yang tak terelakkan lagi.
Dalam menghadapi sikap
yang tak terhindarkan lagi pada kondisi ke tiga, menurut logoterapi, maka
ibadah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk membuka pandangan
seseorang akan nilai-nilai potensial dan makna hidup yang terdapat dalam diri
dan sekitarnya. (Hanna Djumhana Bastaman, 1989).
Dalam psikologi agama
ada dua istilah yang biasa dipakai yaitu Kesadaran agama dan Pengalaman agama. Kesadaran
agama adalah bagian atau seri agama yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat
diuji melalui intropeksi dan ia merupakan aspek mental dari aktivitas agama.
Pengalaman agama adalah unsur perasaan agama dalam kesadaran agama yaitu
perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah).
Seperti rasa lega dan tentram setelah menunaikan shalat, rasa lepas dari
ketegangan batin sesudah berdoa, rasa bahagia setelah membaca ayat-ayat Al
Qur’an, perasaan tenang dan menerima (pasrah) setelah berzikir kepada Allah
dalam menghadapi masalah yang menyedihkan dan mengecewakan. Jadi, bermacam-macam
emosi yang menjalar di luar kesadaran ikut menyertai kehidupan beragama orang
biasa (masyarakat umum). (Etty Kartikawati, dkk., 1997 :13-14)
By: Arifuddin, S.Kep
Alumni STIKes Madani Yogyakarta angkatan 2010
Terimakasih telah berkunjung & Semoga membawa manfaat bagi kita semua... :)
1 comments:
Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.
Post a Comment