Created by: Arif-Mezz
MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai
keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas
dari kehamilan yang tak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular
seksual (PMS) ter-masuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan
seksual (FCI, 2000).
Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja Sangat Penting?
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif
belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus
menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak
sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan
masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan
masa ini sebagai masa kritis.
Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan
usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia
ideal menikah (Kiragu, 1995:10, dikutip dari Iskandar, 1997).
Pengaruh informasi global
(paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak
dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok,
minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang,
perkelahian antar-remaja atau tawuran (Iskandar, 1997). Pada akhirnya, secara
kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif
serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko
tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat
mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses
terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko
kesehatanreproduksi
yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak ataupun orang
dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara
lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), ke-kerasan
seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan
kesehatan. Risiko ini dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual
dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi remaja putri,
mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan
seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil
untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk
menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak
dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di pedesaan, haid pertama
biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka
padarisiko kehamilan dan persalinan dini (Hanum, 1997:2-3).
Kadangkala pencetus perilaku
atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat
ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan
anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan
seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak (child physical
abuse).
Mereka cenderung merasa risih
dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat
reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut
di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan
organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan
hubungan seks pranikah (Iskandar, 1997).
Kondisi lingkungan sekolah,
pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan
reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga
berpengaruh (O’Keefe, 1997: 368-376).
Remaja yang tidak mempu-nyai
tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih sayang orang
tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa
kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja
jalanan, pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan
seksual dan perkosaan (Kipke et al., 1997:360-367). Para remaja ini berisiko
terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk penyalahgunaan obat,
minuman beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi (Iskandar, 1997).
Pelayanan Kesehatan Reproduksi
bagi Remaja…………
Pilihan dan keputusan yang
diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas
informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang
spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal (Pachauri, 1997).
Sebagai langkah awal
pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus
ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas
tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan
dilengkapi dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong
seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS.
Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan
pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku
seksual (Iskandar, 1997).
Di segi pelayanan kesehatan,
pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya
dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas
kesehatan pun belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan
kesehatan reproduksi para remaja (Iskandar, 1997).
Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada,
pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau
persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy)
atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap
tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi
akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat
pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi
kepada kelompok remaja (Outlook, 2000).
Karena kondisinya, remaja
merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan
confidentiality (Senderowitz, 1997a:10). Hal ini menjadi penyulit, mengingat
sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal
ini sebagai prioritas dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi
pada klien.
Sebuah survei terbaru terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja
putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa
perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks.
Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki (49,7%)
dibandingkan pada remaja putri (42,3%) (LDFEUI & NFPCB, 1999a:92).
Dari survei yang sama juga didapatkan bahwa hanya 19,2% remaja yang menyadari
peningkatan risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari
satu. 51% mengira bahwa mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila
berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) (LDFEUI & NFPCB,
1999b:14).
Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi……………
Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah
seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor
keingintahuannya mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali
remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga
mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau
media massa.
Kebanyak orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai
seks dan kesehatan reproduksi kepada remaja sebab mereka takut hal itu justru
akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra-nikah. Padahal, anak yang
mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku
seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain
(Hurlock, 1972 dikutip dari Iskandar, 1997).
Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan
seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri karena rendahnya pengetahuan
mereka mengenai kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi
dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta Timur (perkotaan) dan
Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa meiliki
pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih
yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan
dengan masalah seks (Iskandar, 1997:3). Hambatan utama adalah justru bagaimana
mengatasi pandangan bahwa segala sesuatu yang berbau seks adalah tabu untuk
dibicarakan oleh orang yang belum menikah (Iskandar, 1997:1).
Artikel Kesehatan Reproduksi :
Sikap Remaja terhadap Kesehatan Reproduksi
Responden survei remaja di empat propinsi yang dilakukan pada tahun 1998
memperlihatkan sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan seks di luar
nikah. Ada 2,2% responden setuju apabila laki-laki berhubungan seks sebelum
menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap
perempuan yang berhubungan seks sebelum menikah. Jika hubungan seks dilakukan
oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8,6%.
Jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah
menjadi 12,5% (LDFEUI & NFPCB, 1999a:96-97).
Sebuah studi yang dilakukan LDFEUI di 13 propinsi di Indonesia (Hatmadji dan
Rochani, 1993) menemukan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa
pengetahuan mengenai kontrasepsi sudah harus dimiliki sebelum menikah.
Perilaku Seksual Remaja……………..
Survei remaja di empat propinsi
kembali melaporkan bahwa ada 2,9% remaja yang telah seksual aktif. Persentase
remaja yang telah mempraktikkan seks pra-nikah terdiri dari 3,4% remaja putra
dan 2,3% remaja putri (LDFEUI & NFPCB,
1999:101). Sebuah survei
terhadap pelajar SMU di Manado, melaporkan persentase yang lebih tinggi, yaitu
20% pada remaja putra dan 6% pada remaja putri (Utomo, dkk., 1998).
Sebuah studi di Bali menemukan
bahwa 4,4% remaja putri di perkotaan telah seksual aktif. Studi di Jawa Barat
menemukan perbedaan antara remaja putri di perkotaan dan pedesaan yang telah
seksual aktif yaitu berturut-turut 1,3% dan 1,4% (Kristanti & Depkes, 1996:
Tabel 8b).
Sebuah studi kualitatif di perkotaan Banjarmasin dan pedesaan Mandiair
melaporkan bahwa interval 8-10 tahun adalah rata-rata jarak antara usia pertama
kali berhubungan seks dan usia pada saat menikah pada remaja putra, sedangkan
pada remaja putri interval tersebut adalah 4-6 tahun (Saifuddin dkk, 1997:78).
Tentu saja angka-angka tersebut belum tentu menggambarkan kejadian yang
sebenarnya, mengingat masalah seksualitas termasuk masalah sensitif sehingga
tidak setiap orang bersedia mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena
itu, tidaklah mengejutkan apabila angka sebenarnya jauh lebih besar daripada
yang dilaporkan.
NB: Yuukkksss kita baca artikel kesehatan ini, karena ini merupakan
salah satu artikel kesehatan yang sangat penting dibaca oleh setiap kalangan
remaja khususnya bagi para perempuan. Dengan membaca artikel
kesehatan ini akan memberikan informasi
yang sangat bermanfaat bagi kesehatan reproduksi perempuuan.Tentunya setiap
perempuan memiliki keinginan untuk menjadi seorang ibu…..
Terimakasih telah berkunjung & Semoga membawa manfaat bagi kita semua... :)
Wassalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh...
Sumber